Minggu , 24 September 2023
Home » BERITA » Jurnalisme Partisan dan Penghianatan Terhadap Kebebasan Pers

Jurnalisme Partisan dan Penghianatan Terhadap Kebebasan Pers

Oleh : Edy Junaedi
Koordinator Jurnalis Peduli Pemilu dan Demokrasi (Jurdilmo)

 Kehawatiran dan Kecemasan publik menjelang pengesahan undang-undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 lalu akan potensi terjadinya penyalahgunaan domain publik akibat liberalisasi kepemilikan media secara terbuka terutama media penyiaran televisi yang memanfaatkan ranah publik bernama frekwensi hari ini benar-benar terjadi secara kasat mata.

Praktek jurnalisme partisan yang menyimpang sejak pemilihan legislatif hingga Pilpres kian makin nyata dan berlangsung berulang-ulang hingga menciptakan kebingunan dan keresahan publik. Anehnya praktek pelanggaran penyiaran Partisan yang mencederai hak dan kepentingan publik atas informasi yang benar, berimbang dan edukatif, terkesan terjadi pembiaran hingga praktek yang sama terus berulang-ulang sejak proses politik Pileg 2013 hingga Pilpres 9 juli 2014 kemarin.

Kontroversi penyiaran hasil quick count 12 lembaga survei yang diekspolitasi secara berlebihan dan tidak berimbang oleh sejumlah media terutama media televisi misalnya adalah bukti nyata betapa penghianatan media terhadap kepercayaan (mandat)  publik berlangsung secara kasat mata. Amanah kebebasan pers yang dipertanggungjawabkan secara moral kepada publik dan Tuhan tentunhya, dimanipulasi pemilik media untuk kepentingan ekonomi-politik sempit kelompok apiliasinya. Regulator penyiaran Kemenkominfo dan KPI pun terkesan ambivalen dalam meneggakkan undang-undang penyiaran

Hasil penelitian Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIDP) menilai KPI cenderung tidak memiliki pola yang konsisten dalam penegakan undang-undang penyiaran termasuk dalam pemberian sanksi tegas terhadap media penyiaran yang terbukti melakukan pelanggaran secara kasat mata dan berulang-ulang.

 Beberapa jenis sanksi dalam UU Penyiaran pasal 55 misalnya mulai dari teguran tertulis, penghentian sementara program siaran, pembatasan durasi, denda, hingga pencabutan izin siaran, Namun dalam praktiknya hingga kini belum ada satu pun lembaga yang benar-benar mendapat sanksi penghentian karena dinilai menghinati kepercayaan atau mandat publik.

Untuk substansi pelanggaran yang sama, KPI cenderung mengulang-ulang teguran hingga berkali-kali. Ini tentu tidak menimbulkan efek jera dan program siaran yang melanggar karena menyalahgunaan domain publik berjalan terus.

Oligarki Media

Kita bangga bahwa di era reformasi media tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Namun jika ditelusuri jejak kepemilikan media yang tumbuh dan berkembang hingga ke daerah sebetulnya pemiliknya bisa dihitung jari. Sejatinya media publik yang sehat dan dan mendidik seharusnya tumbuh di tengah masyarakat luas dan bukan dikuasi oleh segelintir pemilik modal yang mungkin saja tidak faham hakekat media penyiaran sebagai milik publik atau Fahan namun lebih memilih membela dan memanfaatkan media publik jaringannya untuk mempertahankan kepentingan ekonomi-politiknya.

Praktek oligarki kepemilikan media yang cenderung terkonsentrasi pada sejumlah konglomerat dan juga elit politik nasional di tanah air sebetulnya sudah lama menjadi kecemasan publik.

Di zaman orde baru ketika media termasuk media penyiaran dimanfaatkan penguasa untuk melanggengkan kepentingan politik dan kekuasaannya. Namun di era reformasi situasinya tak jauh berbeda. Praktek media justru dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir pemilik media yang menguasai ratusan jaringan media afiliasinya. Keduanya merupakan bentuk pelanggran yang mencederai kepercayaan publik.

Pemusatan Kepemilkan dan intervensi pemilik media terhadap jalannya penyiaran kini terjadi secara telanjang dan vulgar. Penelitian tiga lembaga atas permintaan Dewan Pers  yaitu Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA), Remotivi dan Masyarakat Peduli Media memperlihatkan intervensi pemilik media terhadap isi siaran sangat vulgar. Hasil Penelitian ini telah dipresentasikan kepada publik Maret 2014 di kantor Dewan Pers. Karena itu Regulator KPI dan Kemenkominfo harus menegakkan peraturan perundang-undangan bagi media penyiaran yang terbukti melakukan pelanggaran.

Publik tentu khawatir ketika media terutama media penyiaran yang memanfaatkan Frekwensi publik seperti TVOne, MetroTV, GlobalTV dan RCTI mengekspoitasi isi siaran yang hanya membela kepentingan pemilik media atau kelompok jaringan politk afiliasinya.

Pemilihan presiden di sejumlah negara maju seperti Amerika serikat yang menjadi kampiun demokrasi, sejumlah media memang menegaskan dukungan mereka kepada salah satu pasangan calon presiden yang dianggap visi dan misinya sejalan dengan visi dan misi media bersangkutan. Namun isi siaran dan prakteknnya tetap mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme profesional yang tidak melupakan kepentingan publik yang lebih luas.

Publik tentu tidak setuju jika media penyaran seperti TVOne dan jaringan medianya, konten siarannya hanya mewakili pikiran dan sudut pandang Abu Rizal bakrie yang menjadi pemilik modal dan juga Politisi. Publik tentu menolak ketika isi siaran Metro TV hanya mewakili sahwat dan kepentingan ekonomi politik pribadi Surya Paloh. Atau publik secara luas tentu tak sepaham ketika RCTI dan Global TV yang tergabung dalam jaringan MNCTv hanya merefresentasikan mimpi-mimpi politik Harry Tanu yang belum tentu menjadi kehendak publik secara luas.

Sekali lagi Media penyiaran yang memanfaatkan ranah publik adalah milik masyarakat yang tak bisa dimanfaatkan secara sepihak untuk membela kepentingan ekonomi-poltik kelompok terentu, sekalipun oleh pemilik modal.

Penegakan Aturan dan sanksi Pelangaran

Kemenkominfo dan KPI sebagai regulator penyiaran menurut penulis harus bisa menunjukkan konsistensi Penegakan undang-undang penyiaran untuk membela kepentingan publik yang lebih luas. Sayangnya praktek pelanggaran penyiaran justru makin masif terjadi di depan mata. KIDP mencatat pelanggaran praktek penyiaran secara terbuka dan terus berulang-ulang terjadi sejak 2013-2014, terutama setiap kali menjelang event-event politik nasional seperti Pileg maupun Pilpres.

Puncak penyimpangan media penyiaran stasiun TV terjadi pada Pemilu Presiden (Pilpres) 9 Juli 2014 lalu di mana televisi secara kasat mata telah menjadi bagian penting dari mesin politik salah satu kubu pasangan Capres tertentu untuk membentuk opini publik. Media mengeksploitasi berita-berita klaim kemenangan dan hasil survei secara tidak berimbang. Ini tentu saja meresahkan dan berpotensi memicu konflik antar massa pendukung dua pasangan capres.

Praktek jurnalisme partisan yang cenderung membela secara sepihak kubu atau kelompoknya tidak hanya menjadi sebuah bentuk penghianatan terhadap kepercayaan publik yang telah memberi mandat, tapi juga turut menciptakan kebingungan dan keresahan di tengah masyarakat.

Praktek Jusrnalisme menyimpang yang dilakukan sejumlah media penyiaran televisi nasional seperti TVOne, MetroTV, RCTI dan Global Tv memang telah mendapat kritikan tajam dari berbagai pihak termasuk lembaga dan aktivis penggiat demokrasi penyiaran yang sehat untuk publik seperti Koalisi Independen untuk Demokrasi Penyiaran (KIDP) namun hingga kini pemberian sanksi tegas tak kunjung menjadi pembelajaran penting yang memberi efek jera bagi media penyiaran lainnya.

Control Publik Harus kembali Digalang

Control dan Penegakan undang-undang penyiaran menurut penulis harus kembali digalakkan untuk mengembalikan prinsif dan semangat penyiaran yang memihak kepada kepentingan publik secara luas.

Semua elemen masyarakat harus turut terlibat berpartisipasi melakukan kontrol publik seperti ketika awal Reformasi yang kemudian menghasilkan Undang-undang penyiaran. Meski pun dalam perjalanannya undang-undang hasil perjuangan publik menuntut haknya ini tidak pernah benar-benar bisa diejawantahkan sebelum Undang-undang produk kemenangan reformasi ini terus menerus mengalami Praktek Amputasi. (*)

About admin

Check Also

AJI Mandar Gelar Aksi, Serukan Kebebasan Pers Harus Dilindungi

MAMUJU, AJI Mandar – Rangkaian peringatan kemerdekaan pers pers Sedunia atau World Press Freedom Day ...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *