Refleksi Hari Kemerdekaan
OLEH: Edy Junaedi
Koordinator Jurnalis Peduli Pemilu dan Demokrasi
DUA tahun terakhir mungkin tahun berduka bagi insan media. Perselingkuhan para politisi dan pemilik media’ yang menghianati makna kemerdekaan dan kebebasan pers yang bertanggungjawab seperti yang diamanhkan publik dalam UU Pers No. 40 tahun 2004 mencapai puncaknya pada Pilpres 2014. Jurnalisme partisan yang diperankan media meanstream ini menjadi tontonan yang telanjang di depan mata publik. Praktek bermedia yang menyimpang ini terjadi secara masif dan dilakukan tidak hanya media partisan tapi juga media mainstream on line, cetak dan eletronik seperti Televisi.
Jauh sebelum pemilu legislatif di tahun 2013 hingga pasca pilres tahun ini, media publik yang sejatinya merepresentasikan diri mewakili kepentingan publik akan hak informasi yang lezat dan berguna untuk membangun dan mengembangkan dirinya, kerap hanya disesaki informasi yang melayani kepentingan pemilik media dan elit politik yang berafiliasi dengan media tertentu. Tanpa penulis melakukan cack list satu per satu media mana saja yang diduga melakukan praktek penyimpangan yang menghianati keprcayaan dan makna kebebasan pers yang bertanggung jawab, publik tentu punya catatan-catatan sediri.
Sikap pragmatisme media terutama media penyiaran dan afiliasinya dalam pemilu 2014 kemarin tidak hanya membuat pendukung kedua calon terbelah dalam dua kutub yang cenderung berhadap-hadapan. Publik penonton pun terbelah. Sebagian publik menghakimi media tertentu yang dinilai menjadi corong kepentingan elit politik dan pemilik media tertentu, lainnya menganjurkan agar tak membaca atau menonton televisi tertentu karena dituding berat sebelah.
Sementara penonton lainnya yang lebih realistis mencemaskan kondisi media yang terjebak dalam praktek media partisan. Di satu sisi melebih-lebihkan tokoh atau capres tertentu dan menyudutkan capres lainnya.
Publik yang merasa tak punya ruang yang refresentatif untuk menggugat dan memperkarakan praktek penyalahgunaan domain publik yang berulang-ulang sepanjang tahun dan seolah tak ada yang bisa meluruskannya, hanya bisa mengutuk atau mengeluh di warung-warung kopi atau forum-forum diskusi imiah yang belum tentu menarik perhatian bagi insan media atau jurnalis untuk dipublikasikan secara luas guna mengimbangi informasi yang menyimpang
Kekuatan Dasyat Media Membentuk Opini…
Bagaimana pun imformasi yang akurat, mencerahkan dan mendidik publik penting untuk mengembangkan dirinya termasuk menentukan sikap politik mereka. Idealnya media seharusnya melakukan pencerdasan politik kepada konstituen melalui sajian informasi yang kaya dan berimbang. Menyajikan informasi secara independen artinya memberitakan peristiwa atau fakta apa pun sesuai hati nurani tanpa campur tangan, paksaan dan interpensi pihak lain termasuk pemilik media.
Informasi yang kaya dan akurat ini penting untuk memperkaya wawasan politik konstituen atau publik dalam menentukan sikap politiknya tanpa harus dicocor hidunynya oleh politisi pragmatis lantaran mereka miskin informasi. Karenanya penyalahgunaan informasi publik tidak hanya berpotensi menjadi pembodohan massal tapi juga bisa menjadi senjata yang menakutkan
Media bisa mempersatukan bangsa tapi juga bisa menjadi alat pemecah belah persatuan bangsa. Gejala publik yang terbelah menjadi dua kutub dalam kelompok pendukung dan bukan pendukung pasangan capres tertentu dalam kontes Pilpres 9 Juli 2014 kemarin adalah indikasi kuat betapa praktek media partisan yang tidak indpenden dan cenderung memanipulasi informasi bisa berpotensi menjadi alat pemecah kekuatan bangsa yang heterogen.
Media dengan segala peran strategisnya memiliki kekuatan dasyat dalam membentuk opni publik. Penyalahgunaan infomrasi yang memanfaatkan domain publik melalui media penyiaran terutama media televisi yang hanya melayani kepentingan pemilik media dan kelompok afiliasinya sangat berperan dalam membentuk pola fikir masyarajat terhadap berbagai isu-isu sosial politik. Berbagai informnasi yang menjamah publik secara bebas hingga ke kamar-kamar pribadi dimanipulasi, dikemas dan dioalah sedemikain rupa seolah menjadi sebuah informasi untuk kepentingan publik yang lebih luas tapi sebetulnya lebih melayani kepentingan politik dan kekuasaan pemilik media
Para politikus yang memanfaatkan media massa untuk menyebarkan pengaruhnya demi kekuasaan politik tampaknya paham teori iklan bahwa sebuah ‘kebohongan” yang disuarakan terus menerus pada akhirnya ia akan membius khalayak. ‘Kebohongan’ pada akhinrya akan diterima menjadi sebuah kebenaran
Dalam kesempatan Diskusi publik menyorot soal peran strategis media di Jakarta beberapa saat lalu, manajer program media dan informasi Yayasan (TIFA) R. Kristiawan prihatin terhadap banyak Media di Indonesia sudah tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pengawal demokrasi. Media massa pada awalnya berperan penting dalam mendorong demokratisasi, namun pada akhirnya justru mengancam keberlangsungan proses demokrasi itu sendiri.
Menurut Kristiawan situasi ini disebakan oleh banyaknya ‘penumpang gelap’ Demokrasi untuk mengistilahkan para politikus yang memanfaatkan media untuk menyebarkan pengaruhnya demi kekuasaan politik dan bisnis mereka dengan mengatasnamakan asas demokrasi.
Tirani Media
Menjelang tahun politik 2014 publik disuguhi berbagai pemberitaan berisi isu-isu poltik dan hukum yang jauh dari sikap profesionalisme yang mengedepankan asas keberimbangan dan chack and balance. Sejak itu publik sudah mencium adanya indikasi media yang telah menjadi alat politik dan ‘kekuasaan’ yang kerap hanya melayani kepentingan ‘pemiliknya’.
Presiden SBY dalam kapasitasnya sebagai dewan pembina partai Demokrat pernah mengeluhkan praktek media yan tak lagi menjunjung asas chack and balance dalam pemberitaan. SBY mengeluh karena banyak isu-isu tak jelas sumebrnya tiba-tiba jadi berita bombastis yang menyudutkan kader dan partainya.
Tak hanya itu mantan ketua partai Demokrat Anas Urbaningrum yang menjadi tersangka kasus Wisma Altit yang ditanya sejumlah wartawan soal isu heboh keterlibatan diirinya dalam kasus tersebut ketika itu hanya tertawa sinis sambil menjawab sekenanya. Menurut Anas karena Demokrat tak punya Media jadi isi beritanya seperti yang beredar di publik. Andai saja Demnokrat kata Anas punya media tentu tidak seperti itu isu yang berkembang.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat Iswandi Syahputra dalam sebuah diskusi bedah buku bertajuk Rezim Media, Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme dan Infotainment dalam Industri Televisi di Jakarta beberapa waktu lalu mengatakan dwifungsi media sebagai institusi sosial dan institusi politik pemiliknya bahkan lebih berbahaya daripada praktik dwifungsi tentara masa Orde Baru. Media penyiaran seharusnya mengabdi kepada kepentingan publik, bukan kepentingan pemilik media. Padahal, media massa penyiaran seperti televisi menggunakan frekuensi milik public.
Dalam sebuah sistem demokrasi, peran media sebagai bagian dari civil society menjadi sangat penting sebagai kekuatan pembentuk opini publik. Maka dari itu, media mengemban amanah sangat besar dalam menyajikan informasi yang sahih dan obyektif. Peran tersebut menjadi dilematis, ketika media berada dalam cengkeraman para pemilik modal besar. Media menjadi tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Hal yang tak bisa dihindari, media sering jatuh sebagai tirani baru dalam era-demokrasi.
Publik sebetulnya berharap berbagai institusi atau lembaga yang berwenang bisa menjalankan fungsi kontrol yang efektif sesuai kewenangan undang-undang yang dimilikinya untuk menertibkan penyimpangan dan pelanggaran yang masif di ranah publik tersebut. Tapi lagi-lagi Komisi Penyiaran Independen (KPI) dan Kemenkominfo dan dewan Pers selaku lembaga berkompeten untuk melakukan penindakan terhadap pelanggaran di rana publik tersebut terkesan lamban dan kurang efektif.
Berbagai bentuk penyalahguanaan domaian publik mulai isi siaran, dominasi isi siaran oleh pemilik tertentu yang notabene berafiliasi pada partai tertentu sampai iklan yang menyerang yang membuat publik geram, terkesan hanya dibiarkan.
Meski praktek penyimpangan terutama media penyiaran sudah sangat telanjang di depan mata publik, namun hingga kini tak satu pun media atau lembaga penyiaran yang akhirnya mendapat sanksi tegas dari KPI, Kemenkominfo maupun Dewan pers.
Dua lembaga jurnalis yang telah terakreditasi PWI dan AJI pun tampak tak berdaya di depan perselingkuhan elit politik dan pemilik media yang notabene juga terlibat dalam politik praktis. Ancaman AJI akan menjatukan sangksi tegas kepada jurnalis anggotanya yang bersikap partisan tak cukup efektif menjadi virus yang mematikan berbagai modus praktek penyimpangan media yang mencederai perasaan publik.
Renungan Kebebasan
Media sebagai institusi sosial adalah mata publik untuk melihat situasi bangsa, Bagaimana pun kita sebagai masyarakat memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang alurat, aktual dan tetap menginginkan media menjadi mata jendela kita terhadap bangsa bahkan dunia. maka media memiliki kewenangan untuk kebebasan pemberitaan, namun dalam kebebasan tersebut netralitas dan etika pemberitaan mutlak diperlukan.
Dalam perspektif sosial, peran kontrol publik terhadap media akan mempersempit ruang celah bagi bagi media dan pemiliknya untuk melakukan penyalahgunaan domain publik. Karena, peran kontrol publik adalah sebuah kekuatan yang tak dapat ditampik sebagai pemegang penuh atas kedaulatan Negara.
Masyarakat sebagai pemegang penuh atas kedaulatan Negara, maka Control publik terhadap praktek bermedia yang menyimpang dari amanah publik akan memperkuat fungsi dan keberadaan masyarakat sebagai kontrol. Melemahnya kontrol dan perhatian publik terhadap media beberapa tahun terakhir telah menumbuh praktek penyimpangan media yang menodai kepercayaan publik.
Pengejawantahan regulasi Undang-undang keterbukaan informasi publik No. 14 Tahun 2008 hingga kini belum dapat dirasakan hingga masyarakat tingkat bawah. (End)