Oleh: Edy Junaedi
Koordinator Jurnalis Peduli Pemilu dan Demokrasi
SEPERTI kerupuk disiram air wajah media yang selama ini tampak garang menyajikan informasi atau pemberitaan yang membela dan mengabdi kepada kepentingan dan kemaslahatan publik, tiba-tiba tampak melempem. Berbagai tudingan pun bermunculan. Ruang redaksi yang seharusnya steril dari intervensi dan kepentingan politik praktis dianggap malah ikut terlibat eforia politik dukung mendukung pasangan calon presiden tertentu.
Media massa tak terkeculi media penyiaran yang menggunakan rana publik sejatinya berfungsi melakukan Guiding dan pendidikan sosial politik kepada seluruh masyarakat belakangan dinilai ikut terbelah dan mmeperkeruh suasana politik menjelang pilpres..
Media yang menawarkan sajian informasi yang berimbang dan sehat untuk publik tentu bisa menjadi suplemen dalam mendinamisir proses politik seperti pileg dan Pilpres. Sajian informasi bernilai gizi ketika bisa mewakili kepentingan banyak pihak dan bukan sekedar refresntasi kepentingan kelompok yang kerap dibungkus dengan beraam jargon
Gejala divided media ini mulai terasa ketika pemilihan calon anggota legislatif hingga menjelang pemilihan presiden 9 Juli 2014 mendatang. Praktek jurnalisme independen dan profesional yang mengedepankan check and balance, objektif dan akurat menjadi terabaikan. Publik yang berhak mendapatkan pemberitaan dan informasi yang berimbang, objektif dan akurat untuk mengembangkan diri dan lingkungannya tentu saja dibuat bingung.
Publik yang cerdas tentu bisa menimbang-nimbang tayangan media penyiaran mana yang membela kepentingan publik secara luas dan yang hanya membela kepentingan kelompok dengan segala alibinya.
Penampilan presenter stasiun TV yang semula dipaporitkan publik karena selalu tampil garang dan kritis mengungkap fakta-fakta tersembunyi dari para sumbernya belakangan tampak melempem dan terkesan menjadi jurnalis partisan yang hanya gigih membela kepentingan pesan-pesan produsennya.
Pertanyaan-pertanyaannya pun sarat muatan-muatan kepentingan sempit. Nara sumber digiring seolah-olah untuk mendukung gagasan dan pembentukan opini yang dibangun oleh Presenter yang mungkin mendapat wangsit alias petunjuk dari pemimpin redaksi atau pemilik medianya.
Politisasi Pemberitaan
Di sebuah deklarasi politik mendukung pasangan capres dan cawapres tertentu, seorang ketua partai politik di hadapan tim koalisinya tampak semangat menghujat dan mengkeritik habis-habisan sejumlah media tertentu terutama media televisi yang dianggap tidak lagi menjunjun etika profesi dan etika jurnalsitik profesional seperti berimbang, objektif dan akurat dalam menyajikan pemberitaan kepada publik.
Media dengan segala peran strategisnya dinilai Mengekspolitasi penafsiran fakta-fakta peristiwa untuk kepentingan politik kelompoknya. Praktek jurnalisme Horse race (menang-kalah), menjadikan tafsir fakta-fakta yang lain untuk menjatuhkan kubu kubu yang dianggap lawan dalam rivalitas pemilihan presiden 9 Juli mendatang.
Pertarungan capres secara head to head karena hanya diikuti dua pasangan calon ini membuat suhu politik menjelang pemilihan presiden 9 Juli mendatang terasa kian panas dan masyarakat seolah hidup terbelah dalam dua keompok yang berhadap-hadapan antara pendukung dan yang diposisikan sebagai rival politik.
Ketua partai ini tentu saja tak menghujat semua media. Sebab sejumah kelompok media afiliasinya dinilai masih objektif dan independen karena masih membela dan mendukung kepentingan kubunya.
Sindiran tentang praktek media yang tidak berimbang dalam pemberitaan juga pernah dikeluhkan Anas Urbaningrum ketika masih menjabat ketua partai Demokrat. “Demokrat kan tidak punya media ya jadi begitulah beritanya, coba kalau Demokrat punya media beritanya pasti ngak begitu,” kata Anas menjawab singkat pertanyaan wartawan yang mencegatnya.
Di tempat lain seorang peserta diskusi publik bertema Pemilu dan Independensi Media, melontarkan keritik dan keluh kesahnya menyaksikan wajah media terutama media penyiaran yang dituding menjadi TV partisan karena larut dalam eforia politik praktis dan dukung mendukung pasangan calon tertentu. Peserta ini mengaku bingung dan cemas dengan praktek jurnalisme partisan sejumlah media mainstream yang tidak mendidik dan mencerdaskan publik secara politik.
Berbagai lembaga publik dan lembaga negara memang telah mengecam praktek jurnalisme partisan yang mencederai kepentingan publik. KPI sebagai lembaga yang berkompeten mengatur penyiaran misalnya bahkan sudah merilis nama media dan group perusahan media yang dinilai melakukan penyimpangan dalam praktek bermedia.
Aliansi Jurnalis Indpenden (AJI) Indonesia juga resah dengan maraknya praktek jurnalisme partisan dalam pilpres 2014. AJI Indonesia bahkan menghimbau seluruh Pengurus AJI Daerah di berbagai propinsi dan kabupaten agar menegakkan disiplin organisasi dan kode etik bagi jurnaalis yang dinilai tidak indenden. AJI daerah diminta agar anggotanya yang terlibat politik praktis sebagai tim sukses pasangan calon tertentu agar segera menegakkan kode etik jurnalis.
Teguran berbagai lembaga seperti KPI dan Dewan pers termasuk Bawaslu agar praktek bermedia lebih berimbang, objektif dan menyejukkan publik tak membuat praktek jurnalisme partisan meredah. Menjelang Pilpres suhu politik terasa kian panas. Praktek jurnalisme Horse race yang tidak mendidik publik, Pemberitaan media yang tidak berimbang, objektif dan tidak akurat dituding sebagai salah satu pemicu memanasnya situasi politik menjelang Pilpres terutama antar massa pendukung akar rumput kedua pangan calon.
Jurnalisme Partisan
Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional di Manado lalu, Ketua Umum PWI Pusat Margiono melontarkan pertanyaan bernada menyangsikan independensi group media dalam pileg maupn pilpres. Margiono mempertanyakan apakah wartawan MNC Group merdeka dari intervensi Hary Tanoesudibyo, apakah wartawan Trans Corporation bisa merdeka dari campur tangan Chairul Tanjung, apakah wartawan Viva News (ANTV, TvOne) bebas dari intervensi Aburizal Bakrie, apakah wartawan MetroTV bisa bebas dari pengaruh Surya Paloh, dan apakah wartawan Jawa Pos Grup bisa benar-benar independen dari pengaruh Dahlan Iskan.
Kecenderungan Media yang terbelah dan terjebak dalam dunia politik praktis tidak hanya terjadi ditingkat level pemilik media yang diduga mengarahkan pemberitaan untuk kepentingan politik praktis.tapi juga terjadi di level pimpinan redaksi hingga koresponden.
Era kebebasan media tidak hanya terjadi pada keterbukaan informnasi publik secara luas tapi juga pada sektor kepemilikan media. Konlomerat yang nota bene tak mengerti dan tak memilik latar belakang profesi dunia jurnalis kini bisa jadi pemilik media.
Di sejumlah perusahaan media jabatan pemimpin redaksi yang seharusnya menempatkan jurnalis berpengalaman yang memiliki segala kecakapan dan ketrampilan khusus dalam praktek bermedia justru dijabat oleh pemilik media yang nota bene tak memahami prinsip-prinsip media sebagai bagian dari kontrol sosial dan media sebagai milik publik. Hasilnya bisa ditebak, orinteasi media tentu saja diarahkan untuk mendulang untung dan melindungi kepentingan ekonomi dan politik pemilik Media. Dimana fungsi dan peran media sebagai milik publik kerap dinafikan.
Dewan pers dan KPI sebagai regulator yang diberi tugas khusus oleh negara untuk mengawasi tatacara dan praktek bermedia yang sehat untuk kepentingan publik menurut undnag-undang juga tak tak efektif menekan praktek jurnalisme partisan yang menyimpang.
Meski praktek jurnalisme kian semakin kasat mata dan masif terjadi di depan mata terutama selama kampanye Pilpres 2014, hingga kini belum satu pun media yang mendapat sanksi tegas berupa pencabutran izin atau larangan terbit sebagai bentuk konsekwensi pelanggaran pemilik media.
Jurnalisme Publik/ Jurnalisme Pelarian
Praktek Jurnalisme publik (citizen journalism) atau jurnalisme pelarian yang marak di berbagai media sosial seperti twitter, blog, facebook situs online lainnya menjadi gambaran nyata bahwa media mainstream yang tidak mempu mneghadir suguhan informasi yang memadai menjadikan media sosial sebagai pelarian. Selain mudah new media ini juga mudah dan praktis menyampaikan pesan-pesan kepada publik.
‘Manipulasi’ informasi untuk memperdaya publik menjadi alasan publik mencari pelarian baru. Berbagai kasus kampanye capres yang mencuat ke rana publik pada awalnya dipublikasikan lewat media sosial seperti twitter, blok dan sarana lainnya. Ini menjadi bukti jika media mainstrem tak sepenbuhnya bisa lagi menjadi rujukan informasi sehat dan bergizi yang dubutuhkan untuk mengembangkan diri dan lingkungannya..
Jurnalisme publik pertama kali mengemuka pada awal 1990-an dalam praktek liputan pemilihan presiden di Amerika Serikat. Jurnalisme publik atau Citizen jurnalisme menjadi jawaban efektif melakukan counter-counter informasi publik yang didominasi media-media mainstream.
Menjelang Pilpres 9 Juli mendatang pertarungan keras meraih dukungan publik mayoritas tak hanya terasa antar dua kubu pendukung pasangan calon. Sajian-sajian media terutama yang sudah memilih berdiri di barisan pendukung pasangan calon tertentu juga tampak bersaing menjual isu-isu publik untuk memperngaruhi pemilih.
Publik tentu berharap praktek jurnalisme kecap yang selalu tampil “NOMOR SATU” tidak menjadi praktek jurnalisme baru yang mengesampingkan cehck and balance dan pemberitaan yang berimbang. Untuk semua pihak terutama setiap kali menjelang pilkada pileg atau pilpres digelar. (*)