Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan sejarah pers Indonesia, keduanya ibarat dua sisi mata uang. Sejumlah tokoh utama pejuang kemerdekaan ternyata juga merupakan jurnalis. Lewat tulisan para pejuang, spirit perjuangan meraih kemerdekaan terus bergelora. Sementara mengenai hari pers yang paling ideal, para pihak masih terus melakukan pengkajian mencari momentum yang tepat sebagai hari pers nasional.
Pernyataan tersebut merupakan sebagaian intisari dalam dikusi sejarah pers Indonesia bertema “Hari Pers yang Lain”. Acara berlangsung di Museum Nusa Pustaka Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sabtu(18/03). Diskusi pers ini juga merupakan bagian dari kegiatan Perpustakaan Rakyat Sepekan ( PRS ) IV di tempat yang sama.
Reporter KARAKTER, Mizbah Sabaruddin (Pendidikan Fisika, 2013) melaporkan, peneliti sejarah jurnalistik Indonesia, Muhidin M. Dahlan menjadi pembicara dalam diskusi yang digelar atas kerjasama Aliansi Jurnalis Independen ( AJI ) kota Mandar, Sulawesi Barat dengan Armada Pustaka Mandar.
Dosen FISIP Unsulbar, Farhanuddin menjadi pemandu diskusi, sedangkan para peserta terdiri atas jurnalis, mahasiswa Unsulbar, aktivis budaya literasi serta para pelajar Madrasah Aliyah Nuhiyah Pambusuang.
Menurut Gus Muh, demikian Ia akrab disapa, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir serta para pejuang lainnya adalah wartawan dan pemimpin redaksi media saat perjuangan khususnya sebelum 1945. Ia menjelaskan, selain perjuangan fisik serta diplomasi, perjuangan lewat tulisan juga sangat ampuh dalam merebut kemerdekaan.
“Pahlawan nasional, KH Ahmad Dahlan misalnya, itu adalah pimpinan redaksi majalah Soera Muhammadijah ( Suara Muhammadiyah,-), majalah tertua yang masih terbit sampai sekarang,” kata Gus Muh, pria asal Campalagian Polewali Mandar yang sudah puluhan tahun bermukim di kota Jogjakarta.
Hari Pers
Sementara itu mengenai hari pers yang paling ideal, Muhidin mengungkapkan sampai saat ini, para pihak terdiri atas oraganisasi pers, jurnalis serta sejawan masih terus melakukan kajian untuk menentukan hari “terbaik” yang kemudian akan disepakati sebagai Hari Pers.
” Saat ini (Hari Pers ideal,-) masih terus dikaji, ibarat mencari air yang paling jernih di dasar sumur, kami terus menggali (sejarah,-) pers Indonesia,” kata Gus Muh yang juga penulis buku.
Selama ini, berdasarkan keputusan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, Hari Pers Nasional ( HPN ) ditetapkan tanggal 9 Februari. Salah satu pertimbangannya bahwa 9 Februari 1946 merupakan tanggal terbentuknya organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pada masa Orde Baru, PWI adalah satu-satunya organisasi pers.
AJI berpandangan ada momentum lainnya yang lebih layak dijadikan sebagai hari pers Indonesia. Dalam diskusi itu terungkap, salah satu opsi hari pers adalah bulan Januari dimana merupakan pertama kali terbitnya media cetak di tanah air “Medan Prijaji” taun 1907. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli. Surat kabar ini didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo.
Sumber: https://karakterunsulbar.com/2017/03/18/kaji-sejarah-pers-indonesia-mahasiswa-unsulbar-ikuti-diskusi-psr/