Laporan: Muhammad Ridwan Alimuddin
JAKARTA – Pada kegiatan diskusi memperingati Hari Pers Internasional atau World Press Freedom Day (WPDF) 2015 lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Dewan Pers dan UNESCO mendorong agar pelaksanaan WPDF tahun 2017 dilaksanakan di Indonesia.
Hal tersebut menjadi kenyataan ketika WPDF 2017 dilangsungkan di Jakarta, 1-4 Mei 2017. “Stakeholder” dunia pers di Indonesia turut dilibatkan dan diundang di acara tersebut, salah satu diantaranya Aliansi Jurnalis Indipenden Indonesia. Semua ketua AJI kota yang tersebar di seluruh Indonesia diundang untuk hadir, menjadi peserta beberapa rangkaian acara. Salah satu kegiatan utama WPDF adalah diskusi paralel.
Yang diadakan AJI dan diikuti oleh anggota-anggotanya adalah Workshop on Human Right and Safety for Journalist, bertempat di salah Jakarta Convention Centre (JCC). Pembicaranya, Iman D. Nugroho, Ketua Bidang Advokasi Iman D Nugroho.
“Untuk teman-teman di Papua, bagi AJI, kita berdiri di mana? Secara politik ada yang menilai sudah “selesai”, sisi lain masih ada keinginan-keinginan untuk merdeka. Ketika pers ada di sana, harus di mana? Memberitakan adil saja tidak cukup. Sebab pilihan kata, sudut, narsum, dan lain-lain bisa menujukkan media berpihak pada siapa. AJI berada di atas itu, di wilayah aktivis yang pro terhadap kemanusiaan. Semua hal yang mencederai kemanusiaan harus dilawan. Adapun strategi perlawan yang bisa tahu adalah teman-teman yang adai sana. Jadi sangat tidak adil menilai Papua dari luar lapangan. Kita sebagai orang luar, kadang berniat membantu tapi yang terjadi sebaliknya malah membuat Papu makin terpuruk,” kata Iman D. Nugroho.
Kebebasan pers di Papua menjadi persoalan hangat yang dibicarakan di sesi workshop tersebut. Menurut perwakilan AJI Papua, “Saya sebagai jurnalis, yang perempuan, hadir di beberapa aksi demonstrasi. Di situ saya dicurigai oleh aparat keamanan. Ketika di kegiatan demo oleh para aktivis, saya dianggap intel. Padahal jelas saya pakai kartu pers. Jadi bingung sendiri.”
Persoalan yang banyak dihadapi jurnalis daerah dikemukakan oleh Nobi, dari AJI Balikpapan Kalimantan Timur. “Pernah teman mengalami kekerasan pers dari aparat. Juga kasus-kasus lain. Ternyata sebagian besar kekerasa itu diawali oleh dari kita sendiri sebagai jurnalis yang tidak menegakkan etika ketika melakukan peliputan,” terang Nobi yang sering melakukan peliputan penyamaran tentang penebangan hutan.
Iman menanggapi kegiatan peliputan yang menyamar. “Ya, di satu sisi kita berhasil melakukan peliputan, tapi di sisi lain itu tidak membawa implikasi atau perbaikan bahwa daerah tersebut idealnya harus terbuka bagi jurnalis melakukan peliputan. Kan kebanyakan kita dihalang-halangi. Ndak masanya lagi ditutup-tutupi. Itu aja orang bunuh diri sudah bisa live. Sekarang itu sudah sangat terbuka dan bisa dilakukan siapa saja. Jadi dari pada menutup-nutupi, idealnya pemerintah menyiapkan public relation yang baik, jawaban yang baik untuk menanggapi itu semua, yang selama ini dianggap tak boleh diliput,” tanggap Iman yang bekerja sebagau jurnalis di CNN Indonesia.
Dian dari AJI Pontianak menyampaikan persoalan yang mereka hadapi di sana. Katanya, Kalimantan Barat itu paling baik indeksnya di kebebasan pers dibanding 24 kota. Tapi di sisi lain, indek demokrasinya sangat menurun. “Di sana banyak konflik agraria, kasus sawit, penebangan liar yang saya sangat yakin sarat korupsi. Anehnya, tak satu pun yang digarap KPK. Kita harus berpikir ulang apa itu kebebasan pers. Bagaimana kita memberi pemikiran untuk memecahkan persoalan-persoalan, memberi solusi,” kata Dian bersemangat.
Dian menceritakan, suatu waktu dia mengantar jurnalis Swedia melakukan peliputan di pedalaman, mereka sampai di kawasan gundul. Tapi ada satu bagian kecil yang masih berupa hutan. Penduduk di situ miskin-miskin. “Dia bertanya ke saya, koq di tempat kaya tapi orangnya miskin? Sedih, tak ada hasil liputan kita yang bisa mengatasi masalah seperti itu,” cerita Dian.
AJI Mataram mengemukakan tentang banyaknya media, 143 media, di sebuah pulau kecil. Ada seribuan jurnalisnya. “Ini agak aneh. Orang gampang sekali jadi jurnalis. Seorang tukang parkir berbekal alat perekam saja sudah bisa jadi jurnalis, ikut wawancara. Lay outer pun bisa merangkap untuk banyak media. Jika satu media kurang beritanya, dia tinggal kopas berita dari media lain. Ini sangat bahaya, ini seperti banjir bandang, susah kita bendung. Dan yang begituan bisa tiga kali lipat naiknya ketika pilkada,” ungkap AJI Mataram.
Tentang Undang-undang Pers dipertanyakan oleh AJI Purwokerto. Katanya perlu pengawalan untuk melakukan revisi undang-undang tersebut.
Pembicara memberi tanggapan. “Ya, kualitas dan kuantitas tidak selalu sejalan. Ini menjadi hal yang ironis. Banyak media tapi tidak disertai meningkatnya kualitas. Banyak tapi yang hadir dicurigai sebagai pemanfaatan, penumpang gelap kebebasan pers. Ini konsekunesi dari kebebasan pers yang kita perjuangkan. Dulu ditolak, sekarang bebas. Jadi bingung juga. Silahkan dirikan, tapi bagaimana literasi media juga dibangun. Bahwa tidak semua media benar, bahwa tidak semua bisa dipercaya,” jawab Iman.
“Untuk Undang-undang Pers, memang dulu kita perjuangkan dan melakukan pengawalan, misalnya di pemilihan Komisioner Penyiaran. Realitasnya, yang kita perjuangkan malah tidak ada yang lolos. Sepertinya ada indikasi, orang-orang kritis jangan masuk di pengambil kebijakan. Ini agak dilema juga melakukan revisi undang-undang saat ini. Kita lihat sendiri bagaimana kualitas DPR kita sekarang,” terang Iman.
Iman juga menyampaikan tentang polemik barcode media. Menurut Iman, “Kita memahami Dewan Pers berupaya untuk meningkatkan kualitas jurnalis. Berupaya melawan berita bohong, hoax. Dewan Pers pakai strategi pencatatan media, barcode. Hanya saja, harus ada jaminan barcode tidak berarti bahwa yang tidak memiliki barcode otomatis mati atau dibunuh. Ketua Dewan Pers menggaransi bahwa yang tidak barcode otomatis dimatikan. Juga harus ada upaya mewadahi wartawan freelance. Kan platform sekarang sangat terbuka, orang bisa saja menjadi jurnalis tanpa harus bekerja di perusahaan media.”
Yang paling penting untuk digaris bawahi, yang disampaikan Iman D. Nugroho adalah bahwa idealnya setiap daerah menentukan fokus apa yang perlu didorong bersama, isu lokal yang nantinya jurnalis di situ bersinergi melakukan jurnalisme advokasi.