Sistem jaminan sosial di Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) membawa babak baru dalam penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia. SJSN adalah program Negara yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lewat program ini, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Sosialisasi dan edukasi SJSN kepada masyarakat menjadi salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan SJSN.
Dalam kerangka sosialiasi SJSN ini, Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) organisasi nirlama dari Jerman bekerjasama dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan AJI Kota Mandar mengadakan diskusi publik “Menuju Jaminan Kesehatan Semesta: Capaian dan Tantangan” di Hotel Matos, Mamuju, 5 April 2019. Diskusi berlangsung dari pagi sampai sore.
Dalam sambutannya, Ketua AJI Kota Mandar, Muhammad Ridwan Alimuddin menyampaikan bahwa kegiatan diskusi ini penting untuk memberi pemahaman kepada publik, khususnya para jurnalis tentang Jaminan Sosial Nasional. “Saya dan beberapa teman pernah mengalami masalah berkaitan kekurangpahaman tentang JPS. Biasanya kami hanya mengeluh atau curhat ke media sosial. Harapannya, dengan adanya kegiatan ini kita bisa mendapat pemahaman lebih baik tentang Jaminan Kesehatan yang ada di negara kita,” kata Muhammad Ridwan Alimuddin.
Diskusi publik diikuti sekira 70 peserta. Sebagian besar berasal dari jurnalis dari Mamasa, Polman, Majene dan Mamuju, dari perwakilan instansi atau lembaga yang merupakan ‘stakeholder’ dari Jaminan Sosial, organisasi kepemudaan, dan penggiat literasi.
Diskusi pertama menghadirkan pembicara Ahmad Ansori dari Dewan Jaminan Sosial Nasional, Yuni Eko Sulistiono dari Watchdoc, dan Ronny Adolf Buol salah satu pembuat film dokumenter tentang jaminan kesehatan produksi Watchdoc. Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Muhammad Ilham diawali pemutaran film dokumenter “Enam Penjuru”.
Dalam film berdurasi 40 menit tersebut menceritakan kisah dari enam daerah (Aceh, Banyumas, Jakarta, Sulawesi Utara, Bali, dan Kediri). Film bertujuan memberi pemahaman kepada jurnalis dan masyarakat sipil atas pelaksanaan SJSN dan memberi gambaran singkat mengenai potret pelaksanaan jaminan sosial yang terekam di enam wilayah di Indonesia sebagai refleksi bagi para stakeholder demi peningkatan kualitas program jaminan sosial.
Usai menyaksikan film dokumenter yang diproduksi 2018 lalu, mantan Ketua AJI Kota Mandar, Edi Junaedi, mengusulkan supaya teman-teman di AJI Kota Mandar mereplikasi untuk lingkup Provinsi Sulawesi Barat. Katanya, “Saya kira teman-teman di sini banyak menemukan kasus-kasus menarik berkaitan dengan masalah Jaminan Sosial ini. Kalau itu dibuat film dokumenter kolaborasi seperti film Enam Penjuru, itu akan sangat luar biasa.”
Sesi diskusi kedua menghadirkan Arif Rakhmat perwakilan BPJS Kesehatan Mamuju, Iman M. Amin dari BPJS Ketenagakerjaan Mamuju, dan Dr. H. Harman Haba M. Kes. dari RS Mitra Manakarra. Dalam diskusi ini pertanyaan disampaikan oleh beberapa peserta. Misalnya permasalahan pada alur pengurusan BPJS di Rumah Sakit Regional yang dialami Rahmat Idrus, Ketua Komisi Informasi Publik Sulawesi Barat. Sekretaris AJI Kota Mandar, Rasman Abdul Rahman menjelaskan alasan diri dan keluarganya belum memiliki BPJS dikarenakan pihak BPJS mempermasalahkan dokumen pada salah satu anggota keluarganya (neneknya). “Itu kan sudah lama sekali, untuk menemukan dokumennya susah sekali,” kata Rasman.
“Kegiatan sejenis dilaksanakan di tiga provinsi. Setelah Sulawesi Barat akan dilaksanakan di Jawa Timur dan Lombok. Kegiatan ini adalah rangkaian dari kegiatan tahun lalu, misalnya pemutaran dan diskusi film Enam Penjuru di Palembang 19 Desember 2019,” terang Arie dari AJI Indonesia.