Oleh: Muhammad Ridwan Alimuddin, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Mandar
“Kematian seseorang akan sia-sia jika orang hidup mengabaikan mereka”, ungkapan dari Frank Capa, seorang fotografer perang. Berlaku umum, tetapi lebih layak disematkan untuk jurnalis yang terbunuh dalam menjalankan tugas.
Beberapa hari-pekan terakhir, situasi politik di Indonesia akan menjadi catatan sejarah. Peristiwa politik yang, untuk beberapa kasus, sederajat peristiwa tahun 98 dua dekade lalu. Oleh sifat dan kejadian yang menyertainya, jurnalis atau wartawan, menjadi bagian penting didalamnya. Mulai dari penolakan pelemahan KPK hingga aksi demonstrasi yang menyebabkan korban jiwa. Bukan hanya sipil aparat keamanan, tapi juga jurnalis.
Tulisan berikut ini saya buat (bersumber dari beberapa pustaka tentang “safety journalism/journalist” dan pengalaman pribadi), sedapat mungkin menjadi pengingat bagi kami, jurnalis, agar tetap mengutamakan keselamatan diri. Banyak jurnalis tewas dan peliputan, tapi itu tak berarti bawah berita senilai dengan nyawa. Kepada kami diingatkan bahwa keselamatan diri haruslah diutamakan.
Menurut laporan UNESCO, badan PBB untuk pendidikan dan kebudayaan, sebagian besar – hampir 95% – jurnalis yang tewas dalam pekerjaan mereka adalah jurnalis lokal. Sebagian besar tidak meliput konflik bersenjata, tetapi melaporkan berita lokal. Salah satu penyebab adalah minimnya pengetahuan akan keselamatan diri. Ada kebiasaan tidak baik, bahwa ketika tidak menggunakan alat keselamatan atau menimbang lama prihal keselamatan, itu sesuatu yang heroik. Dan yang hati-hati dianggap cemeng.
Keamanan jurnalis sangat tergantung pada tindakan pencegahan yang mereka ambil saat bekerja. Itu sebabnya sangat penting menggunakan helm, rompi anti peluru, pelatihan keamanan, dan asuransi untuk wartawan lepas (freelance) di liputan beresiko. Juga penting, mengutamakan kode etik. Ada beberapa kasus kekerasan pada jurnalis diawali praktek minim dalam menegakkan kode etik. Kata lain, seandainya jurnalis patuh pada kode etik, bisa jadi menjadi korban kekerasan bisa dihindari.
Menjadi kewajiban bagi kami, organisasi profesil jurnalis dalam hal ini Aliansi Jurnalis Independen, untuk memberi pengetahuan bagi setiap jurnalis dalam menjaga diri dalam setiap peliputan. Khususnya peliputan di daerah yang beresiko.
Yang dimaksud daerah liputan beresiko tinggi adalah, pertama negara diktator, zona konflik, pemberontakan atau kejahatan tinggi, dan juga wilayah yang ekstrem iklim atau medan (hutan, daerah kutub, gurun). Kedua, peristiwa berbahaya, seperti demonstrasi kekerasan, kerusuhan, serangan teroris, atau bahan kimia, biologi atau nuklir kecelakaan, bencana alam (gempa bumi, angin topan, banjir) atau pandemi. Ketiga, kegiatan berisiko tinggi seperti penyelidikan teroris kelompok, dan mafia atau ekstremis brutal. Dalam tulisan ini penekanannya pada bagiang kedua, demonstrasi yang berujung ricuh.
Seorang jurnalis, sebelum memulai tugas di area berbahaya, harus siap secara fisik, mental dan logistik. Ini berarti, sebelum datang liputan ke suatu tempat si jurnalis harus mengumpul informasi, menilai risiko, memilih “fixer” (kontak setempat) yang dapat dipercaya, prosedur keselamatan dan komunikasi yang digunakan saat bepergian.
Intinya, sebelum liputan, tanyakan ke diri dulu: apakah saya cukup tahu tentang tempat tujuan saya? Apakah subjek cukup layak diberitakan untuk membenarkan risiko yang saya ambil? Apa potensi risiko dan seberapa siap saya mengatasinya? Sudahkah saya mengerjakan prosedur untuk tetap berhubungan antara saya dengan kantor dan keluarga? Apakah saya benar-benar ingin pergi dan apakah saya siap secara fisik dan psikologis?
Jawaban dari pertanyaan di atas didasarkan pada kemampuan dan pengalaman diri. Tentu jawaban dari jurnalis muda akan berbeda dibanding yang berpengalaman. Selain banyaknya jam terbang dalam liputan, keterampilan jurnalis sangat mempengaruhi. Selain harus memiliki keterampilan liputan, “skill” lain yang harus dimiliki jurnalis yang ingin atau akan meliput di daerah beresiko adalah tentang pertolongan pertama pada kecelakaan dan kemampuan survival. Bila sudah memiliki atau pernah mendapatkan pengetahuan tersebut, penting untuk menyegarkan kembali pengetahuan itu secara teratur lewat latihan-latihan.
Ada aturan umum dalam melakukan liputan di daerah beresiko tinggi. Pertama, bersikap rendah hati. Terlalu percaya diri bisa berbahaya. Pendekatan setiap tugas seolah-olah itu adalah tugas pertama. Bersikaplah rendah hati dan menghormati orang lain dan adat istiadat setempat.
Kedua, bersiaplah mengantisipasi risiko. Cari tahu sebanyak mungkin tentang budaya setempat dan wilayah secara berurutan untuk berbaur sebanyak mungkin dengan lingkungan. Dan ketiga, gunakan akal sehat. Belajar untuk memercayai insting. Hati-hati, bijaksana dan sadar akan tanda-tanda peringatan. Jangan biarkan adrenalin atau dorongan untuk pengakuan membawa. Sekali lagi, hidup jauh lebih berharga dari berita dan foto.
Bila kita berada di zona berbahaya jurnalis harus mempersiapkan dan memeriksa kendaraan (atau memeriksanya) kondisi umum. Pastikan memiliki tangki penuh bensin, alat perbaikan dan suku cadang umum. Setahun lalu, di bencana gempa bumi Palu, kelangkaan bensin sangat mempengaruhi mobilitas liputan.
Berikut, siapkan “survival kit” (dibahas lebih panjang di seri berikut), dokumen resmi seperti kartu pers dan lainnya, pelajari rute di peta (jika kawasan itu baru bagi jurnalis), dan berkomunikasi dengan kolega di lokasi atau pihak berwenang tentang apa saja daerah berbahaya.
Saat melintasi atau berada di area berbahaya, misalnya demonstrasi yang melibatkan ribuan orang, jika ada, harus mengenakan helm dan jaket anti peluru. Jelaskan bahwa kita seorang jurnalis, bukan perusuh. Menulis PERS atau TV di kendaraan dan jaket. Tapi itu juga harus mempertimbangkan beberapa hal.
Di awal demo, bila belum ada nuansa akan terjadi keributan, jangan dulu mengenakan helm atau rompi. Sebab itu bisa menjadi provokasi bagi peserta demo atau membuat mereka khawatir. Nanti itu digunakan ketika sudah ada tanda-tanda keributan, misal aparat keamanan mulai menyiapkan pentungan, tameng dan senjata yang akan digunakan (gas air mata). Kostum keamanan yang digunakan pun jangan sampai memiliki kemiripan dengan apa yang digunakan aparat keamanan, seperti kostum yang “army look”. Pun harus hati-hati membawa peralatan yang identik militer, semisal membawa teropong.
Saat liputan, cobalah untuk bekerja dalam kelompok atau setidaknya berpasangan, sehingga masing-masing dapat saling mengingatkan atau membantu. Cari rute pelarian dan rencanakan caranya untuk melarikan diri jika diperlukan. Di kota-kota, mungkin ide bagus untuk mengenal beberapa pemilik toko dan warga sebelumnya. Sebab jika demonstrasi berubah menjadi kekerasan, bisa berlindung di tempat mereka.
Penting untuk dicoba, jika memungkinkan, kenalkan diri sebagai jurnalis di kantor polisi atau aparat kemanan setempat, termasuk dengan para demonstran. Paling tidak lewat-lewat dihadapan mereka, agar terekam di benak para aparat atau para demonstran bahwa kita ini seorang jurnalis. Sejauh kita tak melakukan tindak melawan hukum atau memprovokasi para demonstran, kecil kemungkinan akan mendapat tindak kekerasan dari mereka jika diri kita sudah dikenal.
***
Jurnalis yang menghadapi risiko berkelanjutan harus menyiapkan rencana darurat. Ini disebut rencana kontigensi (contigensy plan). Salah satu unsurnya adalah perencanaan skenario jika terjadi situasi buruk yang berpotensi menimpa diri jurnalis. Bagian ini berisi wawasan ketika berhadap situasi kacau dan peralatan yang bisa mendukung rencana kontigensi jurnalis.
Di saat menghadapi kerumunan yang didalamnya terjadi tindak kekerasan, jangan berdiri di antara polisi/pasukan dan demonstran atau di depan antar mereka. Jika memang untuk mengambil gambar, usahakan tidak lama dan sudah ada antisipasi akan berlindung di mana. Berada di tempat terbuka, potensi kena lemparan batu amat besar. Jadi, waspadalah terhadap granat, bom molotov, gas air mata, peluru karet, mercon, dan kendaraan yang bergerak.
Kendaraan taktis Baracuda yang melindas mahasiswa di aksi demonstrasi Makassar beberapa waktu lalu bisa jadi bukan kesengajaan. Bisa jadi si sopir tak melihat ada orang di depan gegara asap gas air mata atau benda yang terbakar. Jadi, kendaraan bergerak baik oleh aparat maupun pihak lain harus diwaspadai oleh seorang jurnalis. Minimal kendaraan bisa dijadikan tempat berlindung.
Waspadai orang-orang yang paling mungkin menghadirkan bahaya (mereka yang bersenjata atau mengenakan topeng) dan mengantisipasi gerakan orang banyak dengan memperhatikan mata dan gerakan para demonstran.
Jika mengalami pelecehan, bernegosiasi untuk menenangkan segalanya. Hindari kontak fisik. Jika diserang secara fisik atau batu dilemparkan, melarikan dirilah, berlindung dan meninggalkan daerah itu. Jika dipukuli, lindungi wajah dan kepala.
Selama demonstrasi, kekhawatiran terbesar bagi jurnalis (harus diakui, itu kadang diharapkan sebab memiliki nilai berita) adalah penggunaan senjata dari kedua sisi. Segalanya cenderung menjadi panas karena kehadiran kelompok lawan. Selalu waspada terhadap aktivitas polisi. Jika mereka memakai masker gas dan perlengkapan anti huru hara, yang terbaik untuk mulai mengarah ke pinggiran
Jangan pernah mengambil apa pun yang dilemparkan saat demonstrasi. Tidak hanya itu bisa menjadi bahan peledak buatan sendiri atau alat yang mudah terbakar, tetapi hal itu dapat membuat polisi menganggap kita seorang pengunjuk rasa. Misalnya mengambil selongsong gas air mata, yang mungkin niatnya sebagai oleh-oleh liputan.
Cobalah untuk menjauhkan diri dari bahaya. Orang bisa menganggap jurnalis sebagai wasit di lapangan bermain: wasit harus cukup dekat untuk mengamati permainan secara akurat, namun harus melakukan segala tindakan pencegahan agar tidak tercampur dalam aksinya.
Saat meliput protes atau kerusuhan, jangan sampai terjebak di antaranya bentrok kelompok atau berakhir di tengah kerumunan. Berjalan di sepanjang sisi para pengunjuk rasa adalah pilihan masuk akal.
Jika terjebak dalam kekacauan yang mana gas air mata telah ditembakkan, handuk basah dapat membantu melindungi wajah dari efek gas air mata. Membawa jeruk nipis atau lemon adalah tindakan baik. Buah dapat diperas ke area kulit yang terkena untuk membantu menetralkan iritasi kimia. Banyak yang mempraktekkan mengoleskan pasta gigi di bawah mata. Odol tidak menetralkan gas air mata, tapi hanya sebagai “pemanasan merasakan rasa pedis” bagi mata. Tujuannya, supaya mata tak kaget akan perih yang ketika kemudian ada gas air mata yang terpapar ke diri kita.
Penting diketahui, gas air mata memberi efek bagi mata dan pernafasan. Jadi alat pelindung yang harus dibawa adalah kacamata (bisa kacamata renang) dan masker. Ada juga yang langsung melindungi keduanya, tapi harganya mahal dan sulit diperoleh.
Pakaian harus juga diperhatikan. Hal pasti seorang jurnalis akan berlari. Baik untuk menghindar maupun untuk mengejar momen. Jadi, pakai harus tetap membuat lincah namun kuat, ringan, dan praktis. Dan, bagusnya tetap keren.
Sepatu harus memiliki pelindung jari kaki yang keras. Sehingga tidak akan terluka jika orang-orang, apalagi laras sepatu aparat, menginjak kaki. Solnya harus tebal sebab ada kemungkinan menginjak pecahan kaca, dan “menggigit” agar tak licin.
Mengenakan celana jins atau celana yang kokoh saat meliput protes karena sulit robek akan memberi perlindungan ekstra. Celana pendek dapat menyebabkan kulit yang terpapar jika terkena bahan kimia, jadi jangan pakai celana pendek saat liputan di daerah beresiko.
Pertimbangkan untuk mengenakan jaket anti huru hara, yang anti peluru dan benda tajam, dan menyerap pukulan pentungan. Namun, pertama-tama nilai risiko: jurnalis dapat dikira polisi berpakaian preman bila tampak disamarkan. Jadi harus ada teks besar PERS di depan atau belakang rompi yang dikenakan.
Helm ringan, seperti yang digunakan untuk panjat tebing atau pesepeda, yang mudah dipakai dan lepas landas, lebih disukai tanpa lubang ventilasi jika hujan. Syal atau saputangan juga berguna untuk konsentrasi rendah gas air mata bila tak ada masker. Setidaknya bisa mengeringkan wajah.
Sering terjadi jurnalis diintimdasi oleh petugas. Ada yang sengaja dipukul, terkena peluru nyasar, seperti kasus jurnalis Indonesia yang meliput di Hong Kong, hingga tertangkap oleh aparat. Tetap tenang jika ditangkap. Jika memilih untuk keberatan dengan petugas yang menangkap, itu dapat memperburuk situasi. Jika berbicara, berusahalah untuk mempertahankan sikap profesional saat menjelaskan bahwa kita adalah jurnalis yang meliput berita. Melakukan perlawan fisik bisa memperburuk keadaan apalagi kalau dalam kondisi “dikeroyok”.
Jika pihak berwenang memutuskan untuk melanjutkan penangkapan, patuhi perintah dan tunggu sampai ada proses hukum di kepolisian. Hampir selalu terjadi, jika jurnalis mendapat tindak kekerasan, akan ada advokasi dari kolega atau organisasi profesinya. Ketika bang Dandhy Laksono ditangkap petugas, dalam hitungan menit proses advokasi langsung dilakukan teman-temannya.
Jangan dispelekan adalah peralatan “survival kit” yang kita bawa. Menurut standar AFP (Agence France-Presse), kantor berita Prancis, berdasar masukan pakar militer, seorang jurnalis lapangan harus siap sedia “survival kit-nya”.
Adapun isinya antara lain adalah selimut tipis berbahan aluminium foil, batang berwarna yang bercahaya di kondisi gelap, kantong sampah toilet, alat multi-fungsi, senter, masker gas, selotip perekat, lem super, gembok, kaos tangan, kacamata pelindung, pisau militer-Swiss, gelang dengan golongan darah bertanda di atasnya (bisa juga kalung “dog tag”), tisu kering dan tisu basah, telepon cadangan, gel tangan anti bakteri, lotion anti nyamuk, makanan cadangan berupa bar energi, air minum, baterei cadangan, power bank, perlengkapan hujan atau cuaca dingin, topi, sarung tangan, tabir surya, tampon atau pembalut wanita (untuk wanita), karet gelang, tali dan “medical kit” atau tas P3K.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, kotak P3K dapat berisi kombinasi dari berbagai barang, diantaranya: pita perekat, pembersih antiseptik, perban, tetes mata emolien, obat nyamuk dan perawatan gigitan, krim atau tablet antihistamin (anti alergi), dekongestan hidung, garam rehidrasi oral, gunting dan peniti, analgesik (pereda sakit) sederhana, pembalut steril, termometer, penyumbat telinga, pengobatan antidiare, antibiotik spektrum luas, bedak atau salep antijamur, dan obat penenang.
Individu yang terlatih mungkin juga bisa membawa perban trauma darurat, pembalut dada, balutan dressing, alkohol atau penyeka sterilisasi lainnya, belat, tourniquets, obat-obatan, dan peralatan medis lainnya.
Demikian tulisan singkat prihal keamanan dalam meliput di daerah beresiko, khususnya aksi demonstrasi yang disertai kericuhan. Tulisan ini hanya sebagai pedoman atau informasi awal, minimal sebagai perbandingan. Realitas di lapangan kadang membuyarkan pengetahuan yang kita miliki. Penyebab utamanya adalah rasa panik. Panik membuat diri tidak bisa berpikir; tindakan menjadi tidak terukur.
Selesai